Teringan Masa Kecilku Di Kota Batu

  • Bagikan

Kota Batu Dan Peninggalan Bersejarah, Candi Songgoriti

Kota Batu ( Molaonlinenews. com ) – Saya Hari Wicaksono, lahir di kota Batu tahun 1977 di BKIA Kota Batu, saat masa kecil dikala pagi terasa dingin namun segarnya pagi dihiasi kabur yang turun ke perkampungan kumuh, ini menjadi memori abadiku yang tersimpan begitu rapi di dalam sekat-sekat file memori pikiranku.

Saat itu Kota Batu bagiku bak replika surga, nirwana yang riil, nyata adanya.
Jalanan yang sepi dari lalu-lalang kendaraan seakan menjamin betapa bersihnya udara kota itu, bebas dari polutan yang diproduksi dari asap kendaraan, tak seperti Kota besar lain.

Rumahku di perkampungan kecil yang begitu asri dan nampak kedamaian di Kelurahan Ngaglik, dimana lingkungannya saat itu pepohonan rindang, yang menghias perkampunganku.

Ada perkampungan lain yang beberapa ruas halaman dengan pohon-pohon apel, sungguh nuansa yang sangat ikonik, terbayang dibenakku betapa subur tanah di mBatu, dan alangkah makmur serta damainya masyarakat disitu.

Pegunungan yang memagari sekeliling kota telah menjadikan mBatu kota yang sejuk dengan kekayaan oksigennya, alangkah sehatnya penduduk kota ini, pikirku saat itu.

Beberapa tipe bangunan modern berserakan ditepi jalan yang menuju ke Selecta, mengartikan bahwa kota ini adalah kota peristirahatan yang diminati oleh mereka yang tergiur menikmati indahnya surga di kawasan Jawa Timur ini, sementara di ladang dan persawahan tanaman padi, bawang, jagung, kentang, dan aneka sayur kelihatan begitu suburnya.

Terbengong-bengong saat aku duduk, hingga tanpa dapat kupercaya bahwa memori itu begitu menggigit kuat di alam sadarku.
Selecta yang elok, sejuk, dan asri, jalanan yang sepi, bersih, tertib, para pedagang pasar yang sangat ramah dan terlihat betapa jujur mereka berdagang, ini menanda tentang pola kehidupan sosial yang sehat dimasyarakat mBatu saat itu.

Buah-buahan, sayur-mayur, susu sapi yang begitu segar dan penuh kehangatan, kopi hitam yang nikmat, semuanya hadir disetiap kedai, pasar, atau penjaja pinggir jalan.

Perlahan memori itu melayang, meninggalkan seonggok cerita dialam sadarku. Dan dihelaan nafas berikutnya, aku telah berada ditahun 2024, dimana kota ini telah menjadi kotaku, dimana kubaringkan tubuhku ketika malam menjelang, ketika pergulatan duniawi dan hiruk-pikuk pekerjaan ini telah berlalu.

Ada suasana yang jauh berbeda disini, saat iniĀ  Kota ini tak lagi nyaman seperti dulu, 1972 atau ditahun 1978 kala aku membasuh memori ini dengan mengunjungi setiap sudut kota mBatu, kesejukan pagi harinya, kehangatan masyarakat nya, keremangan malamnya.
Sudah beda…….
Rupanya telah bermetamorfosa menjadi kota wisata.

Buah apel tak lagi menghiasi pasar induk kotaku, keranjang anyaman bambu tak lagi terserak di pojok-pojok pasarnya, halaman luas sudah langka disini, riuh-rendah sapa canda masyarakat sudah mulai ampang. Semuanya sudah berubah menjadi semacam prototipe kota modern. Rumah berhimpitan, kadang dengan kebangunan bertingkat, halaman sempit tanpa tanaman, hanya pot-pot kecil dengan bunga yang tak lagi mekar. Asap kendaraan para pelancong yang menyengat bulu hidungku bersamaan dengan kemacetan jalan di beberapa ruasnya.

Trotoar dan jalanan yang menutupi sebagian aliran selokan dan tersier, di atas trotoar itu berderet para pedagang kaki-lima yang terpaksa berniaga di sempadan jalan, bahu jalan, trotoar bahkan di lorong-lorong pertokoan.
Dokar, ojek offline, ojek online, mikrolet angkutan kota masih ada namun tak lagi difasilitasi dengan bijak sebagaimana layaknya seseorang warga kota yang butuh jaminan bahwa hari ini asap dapurnya tetap mengudara.
Di teras-teras toko, ada ratusan juru parkir berjajar seraya membanting asa.

Kotaku kini pengap dan tak lagi sejuk.
Panasnya udara berjejal di pasar, toko dan perkantoran, berpacu dengan gegap-gempita perilaku mereka yang apatis, egois, tak lagi toleran, berbaju feodalisme, berkerudung kapitalisme, bersepatu liberalisme, bergaya hedonis.

Mereka adalah justru sebagian dari orang-orang yang seharusnya memperhatikan kepentingan masyarakat, kepentingan kita sebagai rakyat, mereka juga adalah orang-orang yang mengaku sebagai pengusaha,.. mitra pemerintah,..mitra masyarakat, mereka adalah orang yang mengingkari jati-dirinya.

Mereka jua yang bermain politik diatas politik tanpa dibekali kemampuan berpolitik secara elegan. Mungkin ada diantaranya meskipun tidak semuanya… beberapa bagian dari mereka telah mendapatkan amanat rakyat dengan cara membeli, dengan uang, dengan kebohongan publik, dengan kepincangan intelektual, dan bersembunyi dibalik slogan-slogan kosong.

Hanya sebagian kecil dari representasi publik itu yang menggenggam amanah dengan segala kearifannya, kebijaksanaan, rasa kasih dan keadilannya….yaa..hanya sedikit yang sejati dengan rakyatnya.

Mbatu….
Masih adakah harapan yang terselip diantara doa dan keringat kerja keras kami semua ? untuk meniti jalan setapak menuju kota dan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi…?
Seperti nuansa pagi ketika anak-anak mBatu dikala berangkat sekolah sembari berdendang…. damai saudaraku ! suburlah negeriku, kuingat ibuku dongeng dan cerita….

Salam damai, mitraku…..

( Wicaksono)

  • Bagikan